Warung Bebas

Senin, 17 Januari 2011

"andai saja kau percaya padaku"

Senin, 17 Januari 2011

i-om
Date
Tags →

Sulit benar membangun kepercayaan, walau untuk hal-hal yang sederhana sekalipun. Ini

kisahku dalam perjalanan tempo hari. Soal lampu rem misalnya. Jika ia menyala, pasti

ada ada hambatan di depan. Maka sudah sepantasnya, si belakang mengikuti si depan

karena depanlah yang tengah menjadi imam, melihat dengan mata kepala sendiri apa

yang terjadi di depannya.



Tapi karena tidak dipercayai, maka otoritas ini sering dianggap sepi. Saat itu, akulah yang

mestinya paling berhak untuk mengerti bahwa di depan ada becak yang sarat muatan

hendak menyeberang. Biarlah ia lewat. Kalau ia harus berhenti dan menggejot dari awal

lagi, tentu merepotkan.



Tapi keputusanku ini ternyata membuat mobil di belakang itu tidak senang. Baru saja aku

menginjak rem, klaksonnya sudah menyalak galak bertubi-tubi. Tapi keputusan telah

ditetapkan, dan abang becak telah mengambil jalan. Si mobil belakang ini juga telah

membulatkan hati, dia memilih menyalipku daripada ikut berhenti. Maka yang terjadi

terjadilah.



Ia begitu terkejut, hampir mati ketika becak itu muncul begitu saja di moncong mobilnya.

Ia menginjak rem hingga berdecit. Tabrakan keras memang tidak terjadi tapi sekedar

ciuman bumper pun telah membuat sang becak terguling. Muatan sayuran yang

menggunung berhamburan memenuhi jalan. Kecelakaan itu tidak mengerikan,tetapi

sayuran yang bertebaran benar-benar telah menjadi provokasi tersendiri.



Jalanan macet seketika. Si penyalip mobilku pucat pasi. Ia seorang pria, tampak

terpelajar; tapi saat itu ia berubah menjadi orang yang kelihatan bodoh. Posisi mobilnya

secara mencolok memperlihatkan bahwa dialah biang keladi kemacetan ini. Semua pihak

kini menudingnya. Dan abang becak yang terkapar itu, entah belajar teori drama dari

mana, mulai membangun sensasi. Ia membiarkan saja becaknya terjungkal. Ia sendiri

dengan ketenangan seorang jagoan, memilih bangkit dan berjalan menghampiri si pria

pengemudi dan langsung meninjunya.



Cerita selanjutnya bukan urusanku lagi. Tapi tak sulit merekonstruksi akhir insiden ini.

Betapa tidak enak membayangkan perasaan pengemudi mobil tadi. Seorang yang tampak

terpelajar, bertampang bersih, tapi cuma jadi bahan olok-olok lingkungan dan dipukuli

seperti kriminal. Padahal, jika saja ia mau sedikit bersabar, dan terpenting, mau

mempercayaiku untuk ikut berhenti, musibah ini mungkin tidak akan terjadi.



Seperti itulah keadaan di negara ini, orang lain tak pernah dibiarkan menjadi imam, walau

ia memang tengah memegang otoritas yang sesungguhnya. Selalu saja ada intervensi.



Inilah mengapa kita selalu cenderung membunyikan klakson di saat kita dalam

kemacetan. Mengapa dalam hal antri, leher kita cenderung terjulur demikian panjang

untuk selalu gatal melihat keadaan di depan.



Kita selalu ingin tergesa-gesa, tidak punya kesabaran sedikitpun. Padahal di depan itu

sering tidak terjadi apa-apa. Kemacetan itu masih baik-baik saja. Sekeras apapun klakson

yang kita bunyikan, tidak akan mengubah situasi jika saatnya belum tiba. Pada gilirannya,



antrian pun pasti akan bergerak maju dengan caranya sendiri. Jika semuanya masih

terhenti, pasti karena masih ada persoalan. Biarlah itu persoalan yang di depan. Kita di

belakang, tinggal mempercayainya.



Berat memang, tapi inilah ongkos hidup bersama. Harus ada semacam tebusan sebagai

ongkos kepercayaan. Ketidaksabaran membayar ongkos inilah yang membuat hidup

bermasyarakat sering dilanda kekacauan. Para imam, pemimpin, dan pihak yang di depan

itu, memang bisa saja menyelewengkan kepercayaan. Kita boleh kecewa tapi tak perlu

mendendam. Karena untuk hidup bersama, manusia memang perlu saling mempercayai.

Soal bahwa sesekali kita tertipu, tidak usah diherankan pula. Siapa yang sama sekali bisa

membebaskan diri dari nasib sial Rasanya tak ada.



Maka andai saja saat itu engkau percaya padaku, engkau pasti tidak dipermalukan

sedemikian rupa.




Related Post:


0 comments:

Posting Komentar

you coment I follow

 
Rully Varadita is proudly powered by Blogger.com | Template by Rully Varadita